Selasa, 03 Desember 2019

Wasiat Seorang Sahabat


Sejak pertemuan di stasiun kota itu aku mencoba untuk menemukan apa yang aku rasakan setelahnya. Seperti orang mencicipi makanan lalu mengecap-ecap sambil membubuhkan sedikit bumbu yang kurang. Tidak hanya dari fisik, profesi dan perilaku juga menjadi sedikit pertimbangan yang membuatku akhirnya ingin mencoba lebih mengenal.Dia, anak laki-laki dari teman ibuku. Aku mengenalnya ketika berada di sebuah stasiun. Seperti kebanyakan orang, baru pertama bertemu dan berbincang-bincang kesana kemari sembari menunggu kereta berhenti di stasuin tujuan, aku dan dia banyak bercerita hingga bertemulah di titik itu. Dia anak dari seorang teman ibuku.

Aku merasa kadang dunia bisa luas sehingga memisahkan jarak, tapi kadang menjadi sempit seperti yang aku rasakan saat ini. Percakapan di antara kami pun semakin akrab dan mengalir.Setelah empat jam perjalanan, kereta pun berhenti di stasiun terakhir. Aku dan dia turun. Rasanya seperti hampa, harus berpisah. Sama-sama tak ingin mengakhiri, akhirnya dia mengajakku bertukar nomor dengan dalih semoga tali silaturahmi tetap terjaga.Aku bercerita banyak dengan ibuku tentang pertemuanku dengan dia di kereta. Aku menunjukkan sedikit rasa ketertarikanku dengan banyak bercerita tentang apa saja yang sudah dia lakukan hingga saat ini. Profesinya yang menjadi seorang dosen menjadi nilai plus.

Tutur katanya yang sopan dan tersusun rapih namun sedikit jenaka sekedar membuat suasana tidak kaku. Hingga kini aku masih bertegur sapa lewat sebuah pesan singkat.Aku kira ibuku akan setuju jika aku mencoba menjalin hubungan serius bersama dia karena dari segi fisik dan lainnya yang mendukung. Tapi, ibu melarangku dengan alasan dia yang berasal dari keluarga priyayi dan bersekolah tinggi. Ibu hanya berpesan, “Carilah pasangan yang sesuai denganmu, tidak usah muluk-muluk, takut jika nanti kamu hanya dipermainkan saja”. Aku pun semakin tidak menyukai pendapat ibuku. Dia saja belum bertemu dengan orangnya, tapi sudah saja berpikiran yang tidak-tidak. Aku berniat membawanya ke rumah saja, agar dia berkenalan dengan ayah dan ibu.

Sepulang bertemu dengan dia, aku mengajaknya untuk main kerumah agar berkenalan dengan ayah dan ibu. Dengan wajahnya yang sedikit malu itu, ia mengiyakan tawaranku. Kami berdua menggunakan sepeda motor menuju rumah dengan dia yang berwajah sedikit gerogi dan aku yang pucat juga takut-takut ayah dan ibu, terlebih ibu yang sudah melarangku untuk dekat dengannya.
Sesampainya di rumah, ibu menyambut kami dengan hangat. Aku segera membuatkan secangkir teh hangat dan mengeluarkan beberapa makanan ringan. Aku sengaja membiarkan agar mereka duduk berdua di ruang tamu dan dapat saling berbicara.

Semuanya tidak seperti yang aku kira. Ibu sama sekali tidak mengeluarkan wajah tidak suka kepadanya. Obroalan pun mengalir dengan lancar, tidak terlihat ada kecanggungan. Mungkin memang dia yang pintar mencairkan suasana, seperti yang dilakukan seperti pertama kali bertemu denganku di kereta.Sepulang dia dari rumah, aku mencoba untuk bertanya lagi pada ibu bagaimana respon saat sudah bertemu dengan orannya secara langsung,“Anaknya baik ya, sopan, dan lucu”“Tuh kan bu, aku bilang apa kemarin?”“Sayang sekali, almarhumah ibunya pernah bercerita bahwa beliau akan menjodohkannya dengan anak dari sahabat lain”Seketika aku terkejut. Dia tidak berbicara apa-apa denganku.

Dia ngga pernah cerita apa-apa bu”Dia emang ngga tau, tapi ibunya meminta tolong pada ibu setelah meninggal nanti, ia ingin ibu mengenalkannya kepada anak sahabat kita”Tak lama kemudian aku dan ibu mengutarakan semua kepadanya. Sakit sekali rasanya hatiku. Seseorang yang aku cintai akan dikenalkan dengan wanita lain oleh ibuku sendiri. Aku hanya bisa berdiam diri. Aku pernah mendengar Sujiwo Tejo berkata “Kamu bisa berencana menikah dengan siapa, tapi tidak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa.”  Aku percaya jika dia benar mencintaiku, dia pasti datang kembali padaku.Benar saja, tidak lama, tiba-tiba dia datang ke rumah tanpa kabar dan sepengetahuanku. Dibawanya sepasang cincin tunangan. Dia melamarku, dengan penuh hormat kepada ayah dan ibu, ia meminta izin untuk segera menikahiku sambil berterimakasih kepada ibu yang sudah memenuhi permintaan sahabatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar