Selasa, 03 Desember 2019

kisah SMA ku


Sewaktu saya kelas 2 SMA, saya aktif di organisasi Rohis sekolah. Rohis adalah singkatan dari Kerohanian Islam. Dari namanya, pasti semua orang sepakat sama apa yang saya pikirkan pertama kali saat saya memutuskan bergabung dengan organisasi ini. Awalnya saya pikir kegiatannya cuma pengajian, dengerin ceramah, dan sejenisnya. Mungkin untuk sebagian anak remaja pada jamannya, kegiatannya nggak banget deh. Nggak ada keren-kerennya sama sekali. Tapi bagi saya yang waktu itu sedang merasa bingung mau ngapain, merasa tidak punya bakat dan minat dibidang apapun, kayak seni musik, jurnalistik, pecinta alam, apalagi olah raga, satu satunya organisasi yang paling aman ya Rohis ini. Sukur-sukur pas kajian dapet snack, lumayan ngirit uang jajan yakaan.

Sesuai ekspektasi saya, Rohis memang isinya ya mirip-mirip pengajian. Tapi dikemas dengan cara yang lebih seru. Jadi kita dibagi menjadi beberapa kelompok, laki-laki dan perempuan tentu saja dipisah, menghindari Ikhtilat (bercampurnya laki-laki dan perempuan). Satu kelompok isinya sekitar 8 orang dan diampu oleh salah satu mentor yang kita sebut Murabbi. Nah di kelompok itu kita bebas mbahas apa aja soal Islam, dari yang universal sampai urusan personal. Saat itu saya merasa Rohis adalah pilihan yang tepat bagi saya. Saya menemukan bakat terpendam saya, yaitu dengerin ceramah dan nyeramahin orang.

Rohis banyak mengubah saya. Dari pemikiran sampai penampilan. Dari yang awalnya ikut rohis dengan niat memperbaiki diri sendiri, lama kelamaan mulai terlibat dalam kegiatan dakwah, mikirin ummat, mikirin nasip Islam kedepan. Sungguh beban yang teramat berat bagi anak bawang seperti saya. Yang paling mencolok tentu saja penampilan. Yang tadinya pake jilbab paris 10ribuan, ganti pake jilbab tebal yang kegedean. Dan nama panggilan saya seketika berubah jadi ukhti. Dan saya nyaman nyaman aja tuh.Tapi sekarang, jadi ukhti-ukhti itu nggak mudah. Ukhti identik dengan jilbab besar, kaos kaki, dan nikah muda. Jadi ukhti tuh kayak harus tampil anggun setiap saat, baik-baik, ada SOP nya gitulah. sekali berulah, luber tuh kolom komentar sama nyinyiran netijen yang budiman. Padahal ukhti sendiri hanyalah bahasa arab dari saudara perempuan.

Jadi, semua perempuan harusnya sah sah saja dipanggil ukhti. Mau yang pake jilbab syar’i, jilbab paris, sampe jilbab poni pun mereka masih ukhti, bukan akhi (saudara laki-laki).Terkadang pandangan orang-orang soal Rohis bikin saya geleng-geleng kepala. Dari yang mikir kita orang sok suci, sok alim, eksklusif, sampai ada yang menganggap rohis sebagai bibit-bibit teroris. Tapi nyatanya, selama saya di Rohis saya nggak pernah tuh diajarin ngrakit-ngrakit bom atau minimal bikin petasanlah, nggak pernah. Malah yang ngajakin bikin petasan tuh anak gang sebelah, yang suka minta kertas bekas ulangan yang nilainya merah. mereka  nggak ikut Rohis enggak.

Untuk orang-orang yang menganggap kita eksklusif atau terlalu milih-milih temen atau nggak mau temenan sama anak-anak selain anak Rohis, mereka salah besar. Kita mau kok. Kita menganut prinsip banyak teman banyak rezeki, pas ada kegiatan banyak yang donasi. Malah kadang kita mikir kalau mereka yang menjauh dari kita. Sampai kita (khususnya para akhwat) sempet mikir “apa karena jilbab kita yang gede ini bau apek?” secara kita anti sama yang namanya parfum, pake parfum dosanya sama kayak berzina katanya, ngewri nggak tuh, apa nggak mending zina sekalian kan ena #eh Astaghfirullohal’azim. Usut punya usut, kita sama-sama tidak enak karena anak rohis merasa bau apek sedangkan anak bukan rohis merasa terlalu wangi. Yasudahlah mau bagaimana lagi. Memang kau dan aku tak bisa bersatu.

Sebenernya anak Rohis tuh sama kayak anak-anak lainnya. Kita sama-sama anak manusia yang dilahirkan dari rahim seorang ibu (Yakali bapak-bapak mana punya rahim). Kita sama-sama anak muda yang sedang mencari jati diri, berusaha menggali sisi terbaik yang ada pada diri kita masing-masing, hanya dengan cara yang berbeda. Jika kalian merasa nyaman dengan musik klasik, kita anak Rohis lebih nyaman dengan lantunan tilawah (walaupun kadang bikin ngantuk). Jika kalian lebih asik baca komik, kita lebih gemar baca Sirah, dan jika kalian bahagia punya pacar, kita merasa lebih terjaga dengan menundukan pandangan. Jadi Bro an Sist, mari kita berteman tanpa ada rasa segan. Mengutip dari salah satu novel karya Bunda Helvy Tiana Rosa yang judulnya Ketika Mas Gagah Pergi “jika kamu tidak setuju dengan suatu kebaikan yang mungkin belum kamu pahami, paling tidak kamu bisa mencoba untuk menghargainya”. Gitu kan enak, yakaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar