Selasa, 03 Desember 2019

ikhlas untuk segalanya


Sering kita dengar kata ikhlas. Ikhlas disebut-sebut sebagai salah satu kunci kebahagiaan manusia di dunia. Jika ingin hidup damai, bahagia, ya salah satu kuncinya adalah ikhlas. Saat kita merasa kecewa terhadap sesuatu di kehidupan kita yang tidak sesuai dengan harapan, seringkali orang sekitar akan menasihati kita dengan perkataan “udah ikhlasin aja” ikhlas dalam setiap amal itu wajib. Karena setiap amal yang tidak disertai dengan keikhlasan, tidak akan ada manfaatnya sama sekali. Maka dari itu, setiap orang yang beramal harus menyertakan keikhlasan dalam setiap langkahnya. Tapi,  sebenarnya apa sih ikhlas itu, dan bagaimana kita bisa memiliki rasa ikhlas itu? Dan apa pengaruhnya ikhlas dengan kehidupan kita?

Ada syair tentang Ikhlas yang diucapkan oleh seorang Suffi yaitu Rabi’ah Al-Adawiyah yang berbunyi: “saya tidak menyembah kepada-Mu karena takut neraka dan tidak pula karena mengharapkan syurga, akan tetapi saya menyembah kepada-Mu semata-mata hanya untuk mengagungkan-Mu” dari syair ini kemudian muncul pandangan bahwa ikhlas itu tidak mengharapkan apa-apa, beramal dan beribadah semata-mata hanya karena Allah. kemudian, untuk orang yang masih beramal karena berharap syurga atau pahala dari Allah, apa itu tidak termasuk ikhlas?
Arti kata ikhlas itu sendiri berbeda-beda menurut tingkatan orangnya.

Orang yang ahli ibadah, maka keikhlasan amalnya adalah bisa selamat dari sifat Riya’ dan ‘Ujub. Riya’ adalah menunjukkan amalnya untuk mendapat pujian dari orang lain, sedangkan ‘Ujub adalah sombong atau mengagumi amalnya sendiri. Dengan demikian, ikhlas yang dimaksudkan adalah dia beribadah untuk memperoleh pahala yang telah dijanjikan oleh Allah dan menghindari siksa dari-Nya, atau dengan ibadahnya ia mengharapkan Syurga dan diselamatkan dari neraka.Tingkat keikhlasan yang kedua adalah keikhlasan golongan “Muhibbin”, yaitu orang-orang yang mencintai Allah. Jadilah ia beramal karena Allah dengan maksud mengagungkan-Nya. Jadi dia beramal bukan karena mengharap pahala atau syurga, dan bukan pula menghindari siksa-Nya di dalam neraka. Tingkatan inilah yang disebutkan dalam Sya’ir Rabi’ah Al-Adawiyah di atas.

Keikhlasan yang ketiga adalah keikhlasan orang yang Ma’rifat, yaitu orang yang mengerti bahwasannya Allah-lah yang menggerakkan atau mendiamkan dirinya. Sebab dirinya ini tidak mempunyai daya dan kekuatan sama sekali atas dirinya. Ia sadar bahwa ia tidak dapat beramal kecuali atas kehendak Allah, sehingga orang yang demikian ini tidak mengandalkan amal perbuatannya. Seperti dikutip dari kitab Arrisalah Al-Qusyairiyah karya Abu Bakar Ad-Daqqaq halaman 185 yang berbunyi “rusaknya nilai keikhlasan adalah ketika seseorang memandang dirinya sebagai orang yang ikhlas dan memandang dirinya yang sanggup untuk ikhlas (ujub). Apabila Allah berkehendak memelihara keikhlasan seseorang, dipalingkannya mata hati orang tersebut dari memandang keikhlasannya sendiri (mukhlash)”.

Jika dua keikhlasan sebelumnya adalah amal perbuatan yang masih disandarkan pada dirinya sendiri, tingkatan ikhlas yang ketiga hanya disandarkan pada Allah. Keikhlasan ini adalah keikhlasan yang paling tinggi tingkatannya di antara kedua tingkat keikhlasan yang sebelumnya. Maka dari itu, setiap orang yang beramal harus menggunakan salah satu dari tiga tingkatan ikhlas tersebut. Apabila tidak disertai salah satu dari tiga tingkatan ikhlas itu maka amal perbuatannya disebut riya’, padahal riya’ sendiri dilarang oleh Allah.Kembali kepada pertanyaan, jika mengharap pahala dari Allah, apakah termasuk ikhlas? Seperti yang telah dijelaskan pada ketiga tingkatan ikhlas diatas, mengharapkan pahala dari Allah merupakan jenis tingkatan ikhlas yang pertama.

Jadi, boleh saja kita melakukan amal perbuatan dengan mengharap pahala dari Allah, atau memperoleh kebaikan disisi Allah, itu sudah termasuk ikhlas. Yang tidak diperbolehkan adalah jika setiap amal perbuatan yang kita lakukan dicampuri maksud-maksud lain seperti mengharapkan pangkat dan kedudukan. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi seseorang dalam beramal kecuali keinginan menjadi orang masyhur dan terkenal di kalangan masyarakat. Amal yang disertai dengan keinginan tersebut tidaklah murni, karena amalnya tidak benar-benar bertujuan kepada Allah. Demikianlah, maka untuk menyelamatkan keikhlasan dalam setiap amal haruslah menghindarkan diri dari keinginan untuk mendapatkan pangkat dan kedudukan di mata manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar