Selasa, 03 Desember 2019

kamu yang terhebat


Apa yang terbesit di fikiran kamu pas denger kata “cantik?” sebagian dari kamu pasti mikir cantik itu ya putih, mulus, langsing, tinggi, modis, kalem, anggun, bicaranya lembut, jalannya pelan-pelan (dipikir keong) apa itu definisi cantik yang sebenarnya? Terus kalo yang kulitnya nggak putih mulus, nggak tinggi, suka pecicilan, suka lari-larian, suka makan beling (?) itu nggak cantik dong? Ini nih yang bikin cewek-cewek suka insecure dan bela-belain beli skincare mahal, diet ketat, dan nggak jadi diri sendiri untuk terlihat cantik sempurna di hadapan manusia.Capek girls kalo berusaha memenuhi ekspektasi umat manusia di muka bumi ini.

Kriteria cantik menurut manusia itu berbeda-beda. Conyohnya nih ya di Jepang, kulit yang putih lembut dan mulus adalah kunci dari kecantikan. Di Thailand, khususnya anggota suku Kayan di Burma, leher yang panjang dengan gelang yang bersinar adalah tanda kedudukan dan keagungan seorang perempuan. Berat gelangnya bisa sampai 22 pounds atau sekitar 10,5 kg lhoo.. Beda lagi di Iran, Brazil, Ethiopia, Paris, dan Mauritania. Di Iran, perempuan yang cantik adalah yang memiliki hidung mancung yang mungil,. Di brazil, wanita cantik adalah wanita yang memiliki postur tubuh yang langsing. Ini sebabnya Brazil menjadi salah satu negara pengkonsumsi pil diet terbanyak di dunia.

Di Ethiopia, cantik itu adalah bekas luka cakar. Luka cakar ini sengaja dibuat sejak mereka masih anak-anak dengan cara mencakar perut mereka. Menurut penduduk Ethiopia, luka tersebut dapat memuaskan laki-laki dan semakin banyak luka, maka semakin cantik. Di Paris, cantik itu langsing, anggun, dan berkelas. Jika di sebagian besar dunia menganggap langsing itu cantik, tidak dengan Mauritania yang terletak di Afrika Barat. Menurut mereka, besar itu lebih baik. Big is beautifull. Makin berisi tubuh seorang perempuan, maka akan terlihat semakin cantik dan semakin banyak laki-laki yang ingin menikahinya.

Gimana?masih mau memenuhi standar kecantikan manusia? Masih mau rela kelaparan demi beli skincare mahal, sekalian diet biar dibilang cantik? Ada yang bilang “beauty is pain” saya tidak setuju sama sekali dengan pernyataan ini. Kenapa harus rela bersakit-sakit ria hanya demi mendapatkan pengakuan dari manusia? Rugi sist, rugi. Seorang siswi asal Birmingham, Inggris, memiliki ukuran pinggang paling kecil di Inggris, yaitu dengan ukuran 15,7 inchi atau 39,8 cm. Ukuran inggang superlangsing itu ia dapatkan setelah wanita 22 tahun itu memakai korset selama 23 jam setiap harinya sejak usia 14 tahun. Wanita muda yang berprofesi sebagai penari ini mengatakan bagwa ia tidak bisa hidup tanpa korset.

Baginya, korset adalah hal yang membuat tubuhnya sempurna. Masih seputar penggunaan korset, Dokter Orly Avitzur yang merupakan seorang konsultan kesehatan, dalam talk show yang ditayangkan di ABC News (Australian Broadcasting Corporation), mengatakan bahwa ia pernah merawat remaja berusia 15 tahun yang mengidap inveksi kandung kemih, masalah pada saluran pencernaan, dan mengalami kerusakan pada sarafnya. Ini semua diindikasi berasal pada kebiasaan si gadis mengunakan korset pelangsing secara terus-menerus.Mari kita renungkan. Apakah kesehatan kita tidak lebih penting dari kecantikan? Selama ini iklan-iklan kecantikan telah mengubah mindset kita tentang arti sebuah kecantikan.

Berbagai media telah sukses membius kita untuk memenuhi standar kecantikan seperti si A, B, atau C, hingga lupa untuk menghagai tubuh yang telah di anugerahkan Tuhan kepada kita. Sehingga terlihat biasa saja ketika para wanita yang rela melakukan apa saja demi terlihat rupawan mengatakan “because beauty is pain” seringkali mereka tidak sadar bahwa hasil dari diet ketat mereka adalah muka pucat dengan tatapan mata yang layu. Apakah ini yang disebut dengan cantik? Jadi, sista ku tersayang, mari kita ubah mindset kita tentang definisi cantik. Cantik itu mudah, sederhana dan tidak menyakitkan. Jadilah wanita yang cantik dengan hal-hal yang sederhana. Jangan hanya melihat kecantikan sebatas fisik saja. Wanita punya nilai yang lebih tinggi dari sekedar cantik fisik. Cantiklah dengan kemurnian hati dan keindahan perilaku. Cantiklah dengan kecerdasan yang kamu miliki. Cantiklah dengan menjaga kebersihan dan kesehatan tubuhmu. Yang paling penting adalah, cantiklah dengan menjadi dirimu sendiri.

ikhlas untuk segalanya


Sering kita dengar kata ikhlas. Ikhlas disebut-sebut sebagai salah satu kunci kebahagiaan manusia di dunia. Jika ingin hidup damai, bahagia, ya salah satu kuncinya adalah ikhlas. Saat kita merasa kecewa terhadap sesuatu di kehidupan kita yang tidak sesuai dengan harapan, seringkali orang sekitar akan menasihati kita dengan perkataan “udah ikhlasin aja” ikhlas dalam setiap amal itu wajib. Karena setiap amal yang tidak disertai dengan keikhlasan, tidak akan ada manfaatnya sama sekali. Maka dari itu, setiap orang yang beramal harus menyertakan keikhlasan dalam setiap langkahnya. Tapi,  sebenarnya apa sih ikhlas itu, dan bagaimana kita bisa memiliki rasa ikhlas itu? Dan apa pengaruhnya ikhlas dengan kehidupan kita?

Ada syair tentang Ikhlas yang diucapkan oleh seorang Suffi yaitu Rabi’ah Al-Adawiyah yang berbunyi: “saya tidak menyembah kepada-Mu karena takut neraka dan tidak pula karena mengharapkan syurga, akan tetapi saya menyembah kepada-Mu semata-mata hanya untuk mengagungkan-Mu” dari syair ini kemudian muncul pandangan bahwa ikhlas itu tidak mengharapkan apa-apa, beramal dan beribadah semata-mata hanya karena Allah. kemudian, untuk orang yang masih beramal karena berharap syurga atau pahala dari Allah, apa itu tidak termasuk ikhlas?
Arti kata ikhlas itu sendiri berbeda-beda menurut tingkatan orangnya.

Orang yang ahli ibadah, maka keikhlasan amalnya adalah bisa selamat dari sifat Riya’ dan ‘Ujub. Riya’ adalah menunjukkan amalnya untuk mendapat pujian dari orang lain, sedangkan ‘Ujub adalah sombong atau mengagumi amalnya sendiri. Dengan demikian, ikhlas yang dimaksudkan adalah dia beribadah untuk memperoleh pahala yang telah dijanjikan oleh Allah dan menghindari siksa dari-Nya, atau dengan ibadahnya ia mengharapkan Syurga dan diselamatkan dari neraka.Tingkat keikhlasan yang kedua adalah keikhlasan golongan “Muhibbin”, yaitu orang-orang yang mencintai Allah. Jadilah ia beramal karena Allah dengan maksud mengagungkan-Nya. Jadi dia beramal bukan karena mengharap pahala atau syurga, dan bukan pula menghindari siksa-Nya di dalam neraka. Tingkatan inilah yang disebutkan dalam Sya’ir Rabi’ah Al-Adawiyah di atas.

Keikhlasan yang ketiga adalah keikhlasan orang yang Ma’rifat, yaitu orang yang mengerti bahwasannya Allah-lah yang menggerakkan atau mendiamkan dirinya. Sebab dirinya ini tidak mempunyai daya dan kekuatan sama sekali atas dirinya. Ia sadar bahwa ia tidak dapat beramal kecuali atas kehendak Allah, sehingga orang yang demikian ini tidak mengandalkan amal perbuatannya. Seperti dikutip dari kitab Arrisalah Al-Qusyairiyah karya Abu Bakar Ad-Daqqaq halaman 185 yang berbunyi “rusaknya nilai keikhlasan adalah ketika seseorang memandang dirinya sebagai orang yang ikhlas dan memandang dirinya yang sanggup untuk ikhlas (ujub). Apabila Allah berkehendak memelihara keikhlasan seseorang, dipalingkannya mata hati orang tersebut dari memandang keikhlasannya sendiri (mukhlash)”.

Jika dua keikhlasan sebelumnya adalah amal perbuatan yang masih disandarkan pada dirinya sendiri, tingkatan ikhlas yang ketiga hanya disandarkan pada Allah. Keikhlasan ini adalah keikhlasan yang paling tinggi tingkatannya di antara kedua tingkat keikhlasan yang sebelumnya. Maka dari itu, setiap orang yang beramal harus menggunakan salah satu dari tiga tingkatan ikhlas tersebut. Apabila tidak disertai salah satu dari tiga tingkatan ikhlas itu maka amal perbuatannya disebut riya’, padahal riya’ sendiri dilarang oleh Allah.Kembali kepada pertanyaan, jika mengharap pahala dari Allah, apakah termasuk ikhlas? Seperti yang telah dijelaskan pada ketiga tingkatan ikhlas diatas, mengharapkan pahala dari Allah merupakan jenis tingkatan ikhlas yang pertama.

Jadi, boleh saja kita melakukan amal perbuatan dengan mengharap pahala dari Allah, atau memperoleh kebaikan disisi Allah, itu sudah termasuk ikhlas. Yang tidak diperbolehkan adalah jika setiap amal perbuatan yang kita lakukan dicampuri maksud-maksud lain seperti mengharapkan pangkat dan kedudukan. Tidak ada yang lebih berbahaya bagi seseorang dalam beramal kecuali keinginan menjadi orang masyhur dan terkenal di kalangan masyarakat. Amal yang disertai dengan keinginan tersebut tidaklah murni, karena amalnya tidak benar-benar bertujuan kepada Allah. Demikianlah, maka untuk menyelamatkan keikhlasan dalam setiap amal haruslah menghindarkan diri dari keinginan untuk mendapatkan pangkat dan kedudukan di mata manusia.

kisah SMA ku


Sewaktu saya kelas 2 SMA, saya aktif di organisasi Rohis sekolah. Rohis adalah singkatan dari Kerohanian Islam. Dari namanya, pasti semua orang sepakat sama apa yang saya pikirkan pertama kali saat saya memutuskan bergabung dengan organisasi ini. Awalnya saya pikir kegiatannya cuma pengajian, dengerin ceramah, dan sejenisnya. Mungkin untuk sebagian anak remaja pada jamannya, kegiatannya nggak banget deh. Nggak ada keren-kerennya sama sekali. Tapi bagi saya yang waktu itu sedang merasa bingung mau ngapain, merasa tidak punya bakat dan minat dibidang apapun, kayak seni musik, jurnalistik, pecinta alam, apalagi olah raga, satu satunya organisasi yang paling aman ya Rohis ini. Sukur-sukur pas kajian dapet snack, lumayan ngirit uang jajan yakaan.

Sesuai ekspektasi saya, Rohis memang isinya ya mirip-mirip pengajian. Tapi dikemas dengan cara yang lebih seru. Jadi kita dibagi menjadi beberapa kelompok, laki-laki dan perempuan tentu saja dipisah, menghindari Ikhtilat (bercampurnya laki-laki dan perempuan). Satu kelompok isinya sekitar 8 orang dan diampu oleh salah satu mentor yang kita sebut Murabbi. Nah di kelompok itu kita bebas mbahas apa aja soal Islam, dari yang universal sampai urusan personal. Saat itu saya merasa Rohis adalah pilihan yang tepat bagi saya. Saya menemukan bakat terpendam saya, yaitu dengerin ceramah dan nyeramahin orang.

Rohis banyak mengubah saya. Dari pemikiran sampai penampilan. Dari yang awalnya ikut rohis dengan niat memperbaiki diri sendiri, lama kelamaan mulai terlibat dalam kegiatan dakwah, mikirin ummat, mikirin nasip Islam kedepan. Sungguh beban yang teramat berat bagi anak bawang seperti saya. Yang paling mencolok tentu saja penampilan. Yang tadinya pake jilbab paris 10ribuan, ganti pake jilbab tebal yang kegedean. Dan nama panggilan saya seketika berubah jadi ukhti. Dan saya nyaman nyaman aja tuh.Tapi sekarang, jadi ukhti-ukhti itu nggak mudah. Ukhti identik dengan jilbab besar, kaos kaki, dan nikah muda. Jadi ukhti tuh kayak harus tampil anggun setiap saat, baik-baik, ada SOP nya gitulah. sekali berulah, luber tuh kolom komentar sama nyinyiran netijen yang budiman. Padahal ukhti sendiri hanyalah bahasa arab dari saudara perempuan.

Jadi, semua perempuan harusnya sah sah saja dipanggil ukhti. Mau yang pake jilbab syar’i, jilbab paris, sampe jilbab poni pun mereka masih ukhti, bukan akhi (saudara laki-laki).Terkadang pandangan orang-orang soal Rohis bikin saya geleng-geleng kepala. Dari yang mikir kita orang sok suci, sok alim, eksklusif, sampai ada yang menganggap rohis sebagai bibit-bibit teroris. Tapi nyatanya, selama saya di Rohis saya nggak pernah tuh diajarin ngrakit-ngrakit bom atau minimal bikin petasanlah, nggak pernah. Malah yang ngajakin bikin petasan tuh anak gang sebelah, yang suka minta kertas bekas ulangan yang nilainya merah. mereka  nggak ikut Rohis enggak.

Untuk orang-orang yang menganggap kita eksklusif atau terlalu milih-milih temen atau nggak mau temenan sama anak-anak selain anak Rohis, mereka salah besar. Kita mau kok. Kita menganut prinsip banyak teman banyak rezeki, pas ada kegiatan banyak yang donasi. Malah kadang kita mikir kalau mereka yang menjauh dari kita. Sampai kita (khususnya para akhwat) sempet mikir “apa karena jilbab kita yang gede ini bau apek?” secara kita anti sama yang namanya parfum, pake parfum dosanya sama kayak berzina katanya, ngewri nggak tuh, apa nggak mending zina sekalian kan ena #eh Astaghfirullohal’azim. Usut punya usut, kita sama-sama tidak enak karena anak rohis merasa bau apek sedangkan anak bukan rohis merasa terlalu wangi. Yasudahlah mau bagaimana lagi. Memang kau dan aku tak bisa bersatu.

Sebenernya anak Rohis tuh sama kayak anak-anak lainnya. Kita sama-sama anak manusia yang dilahirkan dari rahim seorang ibu (Yakali bapak-bapak mana punya rahim). Kita sama-sama anak muda yang sedang mencari jati diri, berusaha menggali sisi terbaik yang ada pada diri kita masing-masing, hanya dengan cara yang berbeda. Jika kalian merasa nyaman dengan musik klasik, kita anak Rohis lebih nyaman dengan lantunan tilawah (walaupun kadang bikin ngantuk). Jika kalian lebih asik baca komik, kita lebih gemar baca Sirah, dan jika kalian bahagia punya pacar, kita merasa lebih terjaga dengan menundukan pandangan. Jadi Bro an Sist, mari kita berteman tanpa ada rasa segan. Mengutip dari salah satu novel karya Bunda Helvy Tiana Rosa yang judulnya Ketika Mas Gagah Pergi “jika kamu tidak setuju dengan suatu kebaikan yang mungkin belum kamu pahami, paling tidak kamu bisa mencoba untuk menghargainya”. Gitu kan enak, yakaan.

belajar mengaji online


Di jaman milenial ini, semua yang susah bisa jadi gampang. Tapi yang gampang juga bisa jadi dibikin susah. Contohnya masalah ngaji, atau belajar agama. Dengan semakin banyaknya platform digital, semakin banyak pula media dakwah yang menjadi pilihan. Akun-akun dakwah bertebaran di mana-mana, dari mulai facebook, instagram, twitter, youtube, line, sampai whatsapp bisa dijadikan media untuk berdakwah. Harusnya ini jadi berita gembira untuk orang-orang yang ingin belajar agama, semua bisa diakses dengan mudah dan cepat. Tapi, yang jadi masalah adalah belajar agama tidak bisa instan bro en sist, bisa bahaya.

Memang benar, dalam mempelajari segala sesuatu kita harus punya pegangan yang kuat, agar tidak gampang terjerumus kepada hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam belajar agama, dalam hal ini agama Islam, tentu saja yang menjadi pegangan adalah Al-Qur’an dan Al-Hadist. Tapi, Al-Qur’an dan Hadist juga banyak tafsirnya, itu sebabnya kita perlu guru untuk membimbing kita. Lalu, bagaimana dengan modern people yang nggak punya waktu untuk ketemu guru ngaji? Kalo ada yang gampang kenapa dibikin repot sih? Wong tujuannya positif, ingin memperbaiki diri, ngga ada salahnya kan belajar online?

Pernah suatu saat, saya sedang mendengarkan ceramah dari salah satu ustad yang terkenal lewat youtube dan instagram. Saya tidak tahu beliau lulusan pesantren mana, yang jelas beliau pernah menempuh pendidikan di Timur Tengah. Waktu itu saya mendengarkan tausiyah bab manajemen perasaan. Saya mendengarkan nasihat beliau karena menurut saya relefan dengan masalah yang sedang saya hadapi. Saat itu, saya sedang galau-galaunya mendengar kabar mantan kekasih akan menikah padahal belum lama putus dengan alasan hijrah (diketik dengan tetesan air mata).
Selain relefan, nasihat yang disampaikan bahasanya ringan dan mudah dimengerti oleh saya yang tidak suka mikir keras alias males mikir.

Dan dalam ceramahnya pun tidak terdapat provokasi atau apapun, lha wong mbahas masalah ati kok. Tapi tiba-tiba, kawan saya yang sedari kecil hidup di pesantren menegur saya “ngapain sih dengerin ceramah begituan? Ati-ati lho sama ustad-ustad yang gelarnya LC begitu”. Seketika saya mem-pause video yang sedang saya tonton, dan menatap dirinya yang sedang nonton channel Rafi Nagita dengan penuh tanda tanya (?)Saat saya tanya beneran (tidak hanya tatapan), kenapa harus ati-ati? Dia hanya menjawab “pokoknya aku nggak suka sama ustad-ustad yang lulusan luar negeri. Nggak jelas sanad keilmuannya”. Saat itu sebenarnya saya juga pengin ngomong “aku juga nggak suka nontonin yutub raffi nagita, nggak jelas faedahnya apa” tapi nggak jadi karena males ribut.

Seringkali saya berdebat dengan orang-orang semacam dia, saya hanya ingin berdiskusi sebenarnya, karena saya merasa masih sangat minim pengetahuan tentang Agama.  Saya memang sering menanyakan hal-hal yang saya dapatkan ketika saya ngaji di Youtube, kan katanya harus di krosscek dulu kebenarannya yakan, makannya saya bertanya kepada orang yang lebih tahu karena telah cukup lama menuntut ilmu di pesantren. Yang paling bikin saya sedih adalah saya pernah dibilang Islam saya melenceng gara-gara kebanyakan ngaji di Youtube. Dari peristiwa tersebut saya jadi mikir. Terus saya harus dengerin nasihat siapa kalo lagi butuh nasihat? Yang sanad keilmuannya jelas contohnya siapa? Apa kuharus menelusuri satu-satu gurunya? Belajar kok di larang-larang? Bukankah ada peribahasa yang mengatakan jangan melihat siapa yang menyampaikan, tapi lihatlah apa yang disampaikan, apakah bermanfaat atau tidak.

Saya tahu, maksud kawan saya baik, artinya saya harus berhati-hati dalam menerima informasi, tapi kan nggak gitu juga kali. Okelah kalau kalian memang anak pesantren yang sudah belajar agama sedari kecil dengan didampingi oleh Guru yang sanad keilmuannya jelas, bersyukurlah, tidak semua orang puya kesempatan seperti kalian. Bantu kami yang masih minim pengetahuan agama, tapi ingin berusaha lebih dekat dengan kebaikan, tolonglah jangan dilarang-larang. Jika memang itu tentang akidah yang memang tidak sesuai, bolehlah diluruskan, harus malahan. Tapi jika itu hanya ilmu tentang keseharian, saya rasa semua orang hanya ingin menyampaikan kebaikan, jadi janganlah di beda-bedakan. Mari kita sama-sama belajar, sama-sama mengingatkan dalam kebaikan.

kisahku menjadi ukhti


Dalam bahasa Arab, ukhti artinya saudara perempuan. Dalam bahasa Indonesia, ukhti artinya perempuan dengan jilbab lebar dan atau bercadar. Penyempitan arti kata ini membuat saya bertanya tanya, lalu apa sebutan bagi saudara saudara perempuan kita yang pake jilbab paris sepuluh ribuan, jilbab poni, dan yang tidak berjilbab? Apa lantas mereka menjadi bukan saudara perempuan kita? 
Dulu saya termasuk pemakai jilbab lebar. Jikalau si ujung jilbab belum menyentuh pantat rasanya sungguh tidak nyaman. Perasaan saya saat memakai jilbab nan lebar itu, saya merasa terlindungi dari gigitan nyamuk eh enggak deng, saya merasa terlindungi sebagai seorang perempuan muda yang rawan godaan laki-laki mata keranjang.

Jika mbak mbak yang pake rok mini di siulin “suit suit prikitiw”, mbak mbak jilbab paris pake celana jeans di ucapin salam “Assalamualaikum Aisyah”, mbak mbak jilbab lebar nggak bakal disalamin apalagi disiulin, paling cuma diliatin, terus mas masnya bisik-bisik “ati-ati, teroris”. Itu dulu ya, pas jilbab lebar belum se-fashionable sekarang.Sekarang, ukhti tuh semakin bertebaran dimuka bumi. Model jilbab lebar macem-macem, nggak Cuma warna item sama biru dongker polos aja. Bermacam-macam warna ada, kayak ungu terong, ungu violet, ungu lebam, kuning mustard, kuning kunyit, kuning hepatitis, ijo mint, ijo pupus, ijo ketupat, ijo telur asin, sampe ijo botol beer bintang. Motifnya pun macem-macem, kayak motif bunga-bunga, polkadot, segitiga (tanpa satu mata), dll. Kalau pengin tahu lebih banyak bisa tanya mbak-mbak online shop.

Tapi, dengan menjamurnya jilbab lebar atau jilbab syar’i ini, membuat saya bertanya-tanya. Apasih esensi jilbab yang sebenarnya? Dulu, saya pake jilbab karna kejebak. Saya sekolah di RA, MI, kemudian SMP umum, niatnya mau lepas jilbab biar rambut bisa di kepang-kepang, pake jepit warna warni, tapi kemudian bapak bersabda “nggak malu, dari MI kok sekolahnya nggak pake jilbab?” saya hanya merengut dan menjawab “oke, tapi besok SMA lepas jilbab ya”, dan kenyataannya, waktu saya SMA, jilbab sedang jadi tren senter fashion. Walaupun SMA umum, hampir sebagian besar siswi pake jilbab. Karena nggak mau jadi minoritas, akhirnya saya pertahankan jilbab paris kesayangan saya itu.

Walaupun saya pengguna setia jilbab (di sekolah), saya hanya sekedar tahu kalau pake jilbab itu fungsinya untuk menutup aurat, itu aja. Yang penting rambut ketutup udah. Setelah saya mendalami dunia perjilbaban, saya jadi tahu, ternyata fungsinya nggak hanya itu. Fungsi yang pertama adalah sebagai identitas bagi seorang muslim, untuk membedakan kita sebagai orang Isam, dengan penganut agama lain. Yang kedua, untuk melindungi kaum perempuan dari gangguan laki-laki nakal. Selain itu, ternyata pake jilbab ada aturannya, nggak cuma buat nutupin rambut aja.

Yang pertama, harus menutup dada, yang kedua, tidak boleh transparan, yang ketiga tidak boleh diberi wangi-wangian, dan yang keempat tidak boleh berlebihan atau Tabarruj. Say goodbay jilbab paris kesayangan, kau harus ku loakkan. Dulu, nyari jilbab lebar itu susah, mencoba memakainya juga butuh perjuangan. Modelnya itu-itu aja, kita yang pake sering dibilang nggak gaul, dandanan kayak orang tua. Sekarang enggak dong, di feeds instagram, di beranda facebook, di mall, di pasar, dimana-mana bisa kita  temuin asal nggak di toko bangunan aja nyarinya ya sist. Menurut saya ini kemajuan yang luar biasa. Kita nggak takut lagi sama jilbab lebar dan nggak merasa aneh lagi pake jilbab lebar.

Tapi yang disayangkan, masih ada aja yang komentar “duh ukhti, percuma jilbab lebar kalo warnanya manis gitu kayak gulali”, “ukhti, itu gamis apa taman bunga, meriah amat, apa nggak jatuhnya tabarruj tuh” “ukhti jilbabnya lebar biar cepet dapet jodoh ya.Saya yakin, perempuan yang memutuskan untuk memperlebar jilbabnya, pasti punya tujuan mulia. Salah satunya tujan untuk memperbaiki diri, mencoba lebih baik lagi. Lupakan tujuan-tujuan keduniaan yang sering kita sangkakan. Toh itu hal positif, apa salahnya? Dengan jilbab yang lebar secara tidak langsung kita akan terdorong untuk hanya melakukan hal positif, dan menjadi benteng jika ingin melakukan hal negatif. Semoga kita tidak hanya meng upgrade gamis dan jilbab kita, tetapi juga amal dan kebaikan kita ya ukhti.

Yang Terlihat Buruk Belum Tentu Buruk


Dinda, siswi kelas tiga SMA itu kembali dengan polahnya yang bandel. Di sekolah, ia terkenal menjadi siswi yang nakal, sering membolos dan lebih banyak bermain dengan laki-laki. Tapi, wajahnya yang cantik, rambutnya yang panjang lurus, dan postur tubuhnya yang tinggi dan lengsing itu tidak membuat teman-teman yang lain benci melihatnya. Hanya sifatnya saja yang meman asal bicara dan semaunya sendiri.Dinda sangat berbeda dengan Anisa, seorang siswi yang pendiam dan sangat jarang bergaul dengan teman-teman seperti Dinda. Anisa merupakan seorang siswi yang tertutup, ia tidak pernah menceritakan masalah pribadinya kepada teman-teman. Ia selalu diam di kelas dan hanya bermain dengan teman yang dekat dengan dirinya saja. Sehingga teman-teman menjulukinya sebagai si pendiam.

Dinda dan Anisa juga tinggal di komplek perumahan yang sama. Tidak hanya oleh teman di sekolah, oleh para tetangga pun Dinda dan Anisa dicap sebagai langit dan bumi. Dinda yang dikenal sering keluar rumah dan Anisa yang selalu betah di rumah. Dinda yang sering membawa teman-teman laki-laki ke rumah dan Anisa yang tidak pernah sama sekali. Kedua orang tuanya pun sama. Orang tua Dinda tidak pernah melarang Dinda bergaul dengan siapapun, kenakalannya juga masih dalam batas kewajaran. Sedangkan orang tua Anisa lebih ketat, Anisa memang harus selalu di rumah dan dilarang bergaul dengan teman yang kelihatannya kurang baik.

Setelah lulus SMA, Dinda dan Anisa akan berkuliah di luar kota. Keduanya diterima di kampus yang sama namun berbeda jurusan. Mereka berdua juga tinggal di kos yang berbeda. Dinda lebih suka dengan kos yang tanpa pemiliknya, sementara Anisa dipilihkan oleh orang tuanya sebuah kamar kos yang ketat juga dan diberi jam malam.Semakin lama di luar kota, teman-teman Dinda dan Anisa semakin banyak. Jadwal kegiatan pun juga semakin banyak. Tugas kuliah harus juga dikerjakan berkelompok, terkadang anak-anak muda juga lebih banyak menghabiskan waktunya sembari mengerjakan tugas di malam hari. Dinda tentu sudah biasa dengan keadaan seperti ini, tapi Anisa, ia kaget dan bingung dengan kebiasaan yang semacam ini.

Dinda sudah biasa memiliki banyak teman laki-laki dan biasa juga bermain jauh. Ia sudah biasa melihat lingkungan dan bisa menjaga dirinya. Sementara Anisa, ia merasa mulai nyaman dengan keadaan baru ini. Ia merasa hidupnya lebih bebas, tidak ada yang mengekangnya. Orang tua Dinda bahkan tidak sering menanyakan kabar anaknya karena memang mereka sudah mengerti jika Dinda bisa menjaga dirinya, sementara orang tua Anisa lebih sering menelfon dan khawatir dengan anaknya. Perlakuan tersebut malah semakin menjadikan Anisa risih dan akhirnya membohongi orang tuanya. Padahal ia sudah mulai nyaman dengan teman-teman dan pergaulannya di luar kota.Anisa menjadi sering main di malam hari, sampai-sampai ia tidak bisa mengontrol dirinya. Ia belum pernah merasakan suasana seperti ini, bebas dan jauh dari orang tua.

Anisa pun kerap bertemu dengan teman laki-laki dan berpacaran. Kehidupannya berbanding terbalik dengan jaman SMA nya. Anisa juga semakin kerap pulang pagi. Ia mulai menginap di kos sang pacar.Beberapa bulan kemudian, Dinda mendengar berita bahwa Anisa dipulangkan ke rumahnya. Mereka memang jarang bersama di kampus. Anisa yang terlalu pendiam membuat Dinda sungkan untuk mengajaknya bermain. Anisa pulang kerumah karena hamil. Dinda pun kaget dengan kabar itu, ia menjelaskan kepada orang tuanya. Selama di perantauan, Anisa memang menjadi kerap bermain, mungkin karena dahulu sering sekali dikekang oleh orang tuanya. Maka dari itu, saat jauh dari orang tuanya, Anisa malah seperti membalaskan dendamnya dan ingin selalu membebaskan dirinya. Tapi sayang, ia tidak bisa membatasi kebebasan dirinya sendiri dan malah terperosok kepada hal yang tidak diinginkan.

Wasiat Seorang Sahabat


Sejak pertemuan di stasiun kota itu aku mencoba untuk menemukan apa yang aku rasakan setelahnya. Seperti orang mencicipi makanan lalu mengecap-ecap sambil membubuhkan sedikit bumbu yang kurang. Tidak hanya dari fisik, profesi dan perilaku juga menjadi sedikit pertimbangan yang membuatku akhirnya ingin mencoba lebih mengenal.Dia, anak laki-laki dari teman ibuku. Aku mengenalnya ketika berada di sebuah stasiun. Seperti kebanyakan orang, baru pertama bertemu dan berbincang-bincang kesana kemari sembari menunggu kereta berhenti di stasuin tujuan, aku dan dia banyak bercerita hingga bertemulah di titik itu. Dia anak dari seorang teman ibuku.

Aku merasa kadang dunia bisa luas sehingga memisahkan jarak, tapi kadang menjadi sempit seperti yang aku rasakan saat ini. Percakapan di antara kami pun semakin akrab dan mengalir.Setelah empat jam perjalanan, kereta pun berhenti di stasiun terakhir. Aku dan dia turun. Rasanya seperti hampa, harus berpisah. Sama-sama tak ingin mengakhiri, akhirnya dia mengajakku bertukar nomor dengan dalih semoga tali silaturahmi tetap terjaga.Aku bercerita banyak dengan ibuku tentang pertemuanku dengan dia di kereta. Aku menunjukkan sedikit rasa ketertarikanku dengan banyak bercerita tentang apa saja yang sudah dia lakukan hingga saat ini. Profesinya yang menjadi seorang dosen menjadi nilai plus.

Tutur katanya yang sopan dan tersusun rapih namun sedikit jenaka sekedar membuat suasana tidak kaku. Hingga kini aku masih bertegur sapa lewat sebuah pesan singkat.Aku kira ibuku akan setuju jika aku mencoba menjalin hubungan serius bersama dia karena dari segi fisik dan lainnya yang mendukung. Tapi, ibu melarangku dengan alasan dia yang berasal dari keluarga priyayi dan bersekolah tinggi. Ibu hanya berpesan, “Carilah pasangan yang sesuai denganmu, tidak usah muluk-muluk, takut jika nanti kamu hanya dipermainkan saja”. Aku pun semakin tidak menyukai pendapat ibuku. Dia saja belum bertemu dengan orangnya, tapi sudah saja berpikiran yang tidak-tidak. Aku berniat membawanya ke rumah saja, agar dia berkenalan dengan ayah dan ibu.

Sepulang bertemu dengan dia, aku mengajaknya untuk main kerumah agar berkenalan dengan ayah dan ibu. Dengan wajahnya yang sedikit malu itu, ia mengiyakan tawaranku. Kami berdua menggunakan sepeda motor menuju rumah dengan dia yang berwajah sedikit gerogi dan aku yang pucat juga takut-takut ayah dan ibu, terlebih ibu yang sudah melarangku untuk dekat dengannya.
Sesampainya di rumah, ibu menyambut kami dengan hangat. Aku segera membuatkan secangkir teh hangat dan mengeluarkan beberapa makanan ringan. Aku sengaja membiarkan agar mereka duduk berdua di ruang tamu dan dapat saling berbicara.

Semuanya tidak seperti yang aku kira. Ibu sama sekali tidak mengeluarkan wajah tidak suka kepadanya. Obroalan pun mengalir dengan lancar, tidak terlihat ada kecanggungan. Mungkin memang dia yang pintar mencairkan suasana, seperti yang dilakukan seperti pertama kali bertemu denganku di kereta.Sepulang dia dari rumah, aku mencoba untuk bertanya lagi pada ibu bagaimana respon saat sudah bertemu dengan orannya secara langsung,“Anaknya baik ya, sopan, dan lucu”“Tuh kan bu, aku bilang apa kemarin?”“Sayang sekali, almarhumah ibunya pernah bercerita bahwa beliau akan menjodohkannya dengan anak dari sahabat lain”Seketika aku terkejut. Dia tidak berbicara apa-apa denganku.

Dia ngga pernah cerita apa-apa bu”Dia emang ngga tau, tapi ibunya meminta tolong pada ibu setelah meninggal nanti, ia ingin ibu mengenalkannya kepada anak sahabat kita”Tak lama kemudian aku dan ibu mengutarakan semua kepadanya. Sakit sekali rasanya hatiku. Seseorang yang aku cintai akan dikenalkan dengan wanita lain oleh ibuku sendiri. Aku hanya bisa berdiam diri. Aku pernah mendengar Sujiwo Tejo berkata “Kamu bisa berencana menikah dengan siapa, tapi tidak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa.”  Aku percaya jika dia benar mencintaiku, dia pasti datang kembali padaku.Benar saja, tidak lama, tiba-tiba dia datang ke rumah tanpa kabar dan sepengetahuanku. Dibawanya sepasang cincin tunangan. Dia melamarku, dengan penuh hormat kepada ayah dan ibu, ia meminta izin untuk segera menikahiku sambil berterimakasih kepada ibu yang sudah memenuhi permintaan sahabatnya.